Oleh : Suryadi / Pemerhati Budaya dan Kepolisian
“Kalau perintah atasanmu salah, jangan
dibiarkan. Ingatkan!”
(mengutip seorang perwira tinggi, seorang perwira remaja lulusan Akpol tiga tahun silam mengungkap kesan mendalamnya kepada seorang bintara sambil menunggu di selazar lantai 2
Gedung Utama Mako Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jabar.
Senin siang, 4/11/24).
“Nggak usah Pak, biar saya jalan, ke dekat sini aja…
saya mau keluar lewat pintu dekat gerbang utama”
(respons seorang laki-laki ketika seseorang
paling senior di antara pasukan provost yang tegak berjajar di depan Wisma Rehabilitasi
Mako Brimob, jelang magrib Senin, 4/11/24)
KEBERADAAN Brimob telah muncul sejak masa-masa silam. Sesuai masanya –jelang kemerdekaan serta saat kemerdekaan, dan setelahnya–, memang ditandai terjadi pergantian nama. Kerap ditulis sebagai metamorfose, meski sesunggunya tidak persis begitu.
Ada dinamika pergantian penguasa, baik di masa penjajahan, jelang dan saat merdeka; masa merdeka hingga kini. Rentetan ini kerap dipengaruhi oleh politik kekuasaan, sehingga terjadi “keterpaksaan” adanya perubahan demi perubahan.
Cikal bakalnya, sudah hadir di awal-awal Jepang mulai menjajah bangsa Indonesia (Hindia Belanda waktu itu). Ini setelah kemenangannya dalam perang melawan Sekotoe (Sekutu). Belanda yang waktu itu menjajah wilayah Hindia Belanda merupakan bagian dari Sekutu.
Setelah bertahun-tahun menjajah, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang (1942). Resmi 8 Maret 1942. Kala itu, Panglima Angkatan Perang Belanda di Hindia Belanda, Letjen H Terporten atas nama Angkatan Perang Serikat menyerah tanpa syarat kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah kepemimpinan Letjen Hitoshi Imamura.
Berakhirlah pemerintahan Belanda atas Hindia Belanda. Kemudian, resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang (SNI VI, 1993: 5). Dengan begitu, Hindia Belanda jatuh dari satu penjajah ke penjajah lain.
Kala itu sejumlah putra Hindia Belanda (kelak merdeka menjadi Indonesia) dari berbagai pulau di wilayah ini, menjadi anggota Tokubetu Keisatsu Tai (Polisi Istimewa/ Khusus Jepang, PI) dalam Keisatsui Tai (polisi fasis Jepang). Tokubetsu Keisatsu Tai (Tokubetsu) merupakan anggota polisi yang khusus dilatih kemiliteran oleh Jepang. Sehingga, mereka menguasai peralatan perang dan memiliki kapasitas tempur.
Keberadaan cikal bakal Brimob sangat terkait dengan kebutuhan Jepang yang saat itu mengalami kekurangan sumber daya manusia (SDM), berkenaan dengan kekalahan demi kekalahannya dalam Perang Pasifik menghadapi Sekutu pimpinan AS.
Terbetik informasi bahwa Jepang membuka pendaftaran sekolah untuk Tokubetsu Keisatsu Tai di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Lantas, seperti pengakuan Moekari (alm), ia tinggalkan pekerjaan di galangan kapal milik Jepang di Gresik, Jatim. Bertekad punya penghasilan memadai (waktu itu Rp 22) dan di suatu saat yang tepat nanti, dapat ikut berjuang mengusir penjajah, berijazah setara SMP ia mendaftarkan diri menjadi siswa Tokubetsu.
Dalam “500 Km Sebuah Perjuangan Tanpa Angka” terungkap, saat itu yang medaftar sekitar 500 orang. Setelah melalui sejumlah test, kurang lebih 200 orang diterima, termasuk Moekari (hal. 4).
Moekari mulai masuk pendidikan awal-awal 1944. Total lamanya 1,5 tahun. Setahun di antaranya memelajari semua ilmu kepolisian, mulai dari baris-berbaris hingga masalah hukum dan semua peraturan yang berhubungan dengan masyarakat. Selanjutnya, enam bulan pendidikan militer khusus atau latihan berat (sinto kioreng). Ia dan kawan-kawan setiap hari menghabiskan waktu di lapangan. Tiada hari libur.
Sampai-sampai, ia amat mengenal berbagai jenis senjata dan cara menggunakannya, berikut teknik menembak yang baik. Selain itu, juga belajar taktik dan strategi perang, seperti menyerang dan menghindar dalam situasi apa pun, sehingga punya kemampuan menganalisa serangan.
Kurikulum pendidikan disesuaikan dengan pendidikan militer Jepang. “Semua pelatihnya, instruktur Jepang yang berpengalaman dalam Perang Dunia (PD) II,” cerita Moekari lagi dalam buku yang ditulis oleh putrinya, Tari Moekari (hal. 7).
Di era lain, pendidikan keras dan penuh disiplin bagi mereka yang tergabung dalam pasukan pendahulu Brimob, kini juga diterapkan. Pada Januari 1959, Djawatan Kepolisan Negara (DKN) mengumumkan secara resmi pembentukan pasukan elit, yang diberi nama Rangger.
Mengutip Supomo dan Djumarwan, penulis Anton dan Andi dalam ”Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan” menulis, pada saat bersamaan Amerika Serikat (AS) memberi bantuan pelatihan militer sebagai kompensasi keterlibatannya dalam pemberontakan Permesta 1958.
Bantuan itu digunakan sebagai modal awal pembentukan pasukan elite. Saat itu, Pemerintah mengirimkan delapan perwira polisi mengikuti pendidikan di Pangkalan Marinir AS di Okinawa. Salah seorang di antaranya, Iptu K.E. Loemy, yang kelak menjadi Komandan Kompi A 5994 Rangger Mobrig. Tak lama berselang, tepatnya September 1959, kompi pertama Ranger berhasil dibentuk.
Empat tahun sebelumnya, Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 10 Juni 1955 mendirikan Sekolah Pendidikan Mobile Brigade (SPMB) di Porong, Jatim (2013: 15) Sejumlah nama, seperti Iptu Soetrasno, Iptu Tanuwijaya, dan Aiptu Andi Abdurachman ditunjuk oleh DKN sebagai instruktur. Selain itu, juga beberapa perwira Mobrig lainnya, yakni Iptu Sukari, Iptu K.E. Loemy, Iptu Wangsadipura, dan Iptu Sudyatmo.
Mereka itulah yang dikirim ke Filipina dan Okinawa untuk memelajari pengetahuan guna pembentukan satuan khusus Ranger. Saat itu, Filipina dan Okinawa merupakan Pangkalan Militer AS. Di sini, mereka memelajari materi pelaksanaan gerilya, kerorganisasian, teknik operasi, taktik tugas, kesatuan khusus, dan perang urat saraf.
Tahun 1956, sepulang ke Tanah Air mereka mendidik beberapa orang lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) Sukabumi (Jabar) menjadi pembantu instruktur. Mereka rata-rata adalah Agen Polisi (AP) II. Jumlahnya, 15 orang. Semua lolos sebagai Ranger. Kelak mereka dijadikan pembantu instrukur (hal: 16).
Salah seorang di antara pembantu instuktur Ranger, M.C. Soekisman (alm), terakhir berpangkat Kapten (kini AKP). Di tahun 1980-an, ia bergaul dengan penulis ketika menjadi Kapolsek Pringsewu, Lampung Selatan (jauh sebelum menjadi Kabupaten Pringsewu). Penganut Katolik taat dan memanjangkan kuku jempol tangan kananya itu, meninggal dan dimakamkan di Metro –waktu itu masih Ibu Kota Lampung Tengah. Semasa bertugas sebagai Kapolsek, ia amat dekat dengan masyarakat Pringsewu.
Di Lampung, saat itu terdapat sejumlah kompi Brimob Polri. Sepertihalnya, penyandang profesi-profesi yang lain, para anggota Brimob yang beragam asal, sepertihalnya penulis, mampu berbahasa Jawa kasar. Memang, mereka yang berasal dari Jawa cukup banyak mendiami berbagai belahan Lampung, termasuk Pringsewu, Metro, dan sekitarnya.
Metro dan sekitarnya adalah wilayah kedua setelah Gedongtataan, yang menjadi tujuan transkolonisasi pertama di era penjajahan Belanda (1931). Maka tak aneh, bila hingga kini banyak anggota Brimob atau Polisi umum di Lampung, mampu berbahasa Jawa. Minimal bahasa pasaran atau yang terendah tingkatannya, ngoko.
Tentu saja, kemampuan berbahasa daerah itu, seperti halnya kini, tak lepas kaitannya dengan kepentingan institusi. Dalam tugas menjalankan fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas), tentu Polri memerlukan pendekatan bahasa (lihat UU No. 2/ 2002 tentang Kepolisian), khususya penguasaan tentang kesetempatan.
Pendidikan
PENDIDIKAN dengan disiplin ketat juga dialami generasi Brimob Polri berikutnya. Dede Rojudin, seorang pamen yang pernah di pasukan Gegana Korps Brimob dan Komandan Satuan Bimob Banten. Lulus Akpol 1997, bersama 29 teman seangkatan, langsung di-Watukosek-kan. Pusdik Brimob Polri Watukosek saat itu dipimpin oleh Tengku Syafruddin Guliansyah –terakhir purnawirawan brigjen.
Bersama teman seangkatan, antara lain Suryo Sudarmadi, Mokhamad Alfian Hidayat, Agus Setiawan, dan Hendrik Prasetyo, selulus Akpol langsung ia menjalani pendidikan dasar perwira (Daspa) Brimob selama tiga bulan. Kemudian, lanjut 2,5 bulan diisi dengan pendidikan Pelopor (Hendri dan Martin, “Tour of Duty Brimob 1987”: 43). Di sini mereka menjalani latihan fisik kerat dalam balutan disiplin yang ketat, termasuk bertahan hidup (survival) di hutan yang amat keras.
Pelatihan Pelopor merupakan pendidikan kekhususan bagi anggota Brimob untuk membina dan meningkatkan kemampuan personel, dengan tugas dan fungsi menyelenggarakan fungsi penindakan massa dan lawan insurjensi, guna terwujudnya kamdagri. Dalam hal ini, penekanannya lebih pada latihan fisik dan kemampuan sebagai pasukan ikatan kecil yang efektif dan memiliki daya hancur yang kuat.
Jelang akhir pendidikan Pelopor, Dede dan kawan-kawan harus long march sejauh lebih-kurang 600 km. Jarak ini meliputi Watukosek – Surabaya – Selat Madura – Pasuruan – Situbondo – Malang – Lumajang – Watukosek (Hendi dan Martin, hal: 7).
Tak kalah ketat dan kerasnya pendidikan yang dilewati para calon bintara dan tamtama di Pusdik Watukosek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jatim. “Sama beratnya, baik untuk calon tamtama maupun calon bintara. Total berlangsung selama lima bulan,” kata Ipda Suhardi, alumni tamtama Angkatan 35/ 1999 – 2000. Ia kini bertugas di Perencanaan Resimen I, Kedunghalang, Bogor.
Usai menerima pengetahuan secara teori, mulailah pelaksanaan senyatanya di lapangan. Medan yang dilalui tak semuanya sama. Misal, setelah tiga bulan pendidikan pembentukan (diktuk), kepada semua siswa wajib renang laut pada siang dan malam hari.
Pada pagi hari mereka berangkat dari Pantai Pasir Putih, Kecamatan Bungatan, Kabupaten Situbondo, Jatim. Mereka dibawa oleh instruktur dengan perahu motor sejauh tiga mil tengah laut.
“Kemudian, kami dilepas berenang tanpa perlengkapan apa-apa menuju tepian. Di panggang teriknya matahari, kulit ini sampai kerkelupas. Sampai di Pasir Putih kembali sudah lewat magrib sekitar jam 19.00,” kenang Suhardi yang didampingi alumni Watukosek juga, Bripda Iptitah dan Bharada Eka Bagus Restitka. Mereka bertiga saling isi dan mengingatkan, sesuai pengalaman masing-masing selama menjalani pendidikan.
Renang malam hari lain lagi serunya. Berangkat ke tengah jam 19.00 hingga sejauh lebih kurang 1,25 km. Dalam keadaan gelap-gulita, mereka dilepas berenang dari tengah laut. Sampai di Pantai Pasir Putih kembali setelah subuh.
“Karena kita tidak boleh bawa apa-apa, celana dibuka dan digulung dijadikan pelampung. Sesekali pelatih membantu dengan lampunya. Tetapi seselesainya, bahagia luar biasa bercampur bangga. Apalagi, terus kita disematkan Roda Kompas,” kenang Suhardi dilengkapi cerita Iftitah dan Eka.
Puncak pendidikan, mereka ada yang harus mendaki puncak Gunung Penanggungan (sekitar 1.250 meter dari permukaan laut/ mdpl) atau ke puncak Gunung Welirang (3.660 mdpl).
Di jalur menuju ketinggian puncak gunung-gunung tersebut, mereka harus memraktekkan seluruh materi yang sudah didapat di Pusdik Watukosek. Ini antara lain kemampuan dalam pencarian dan penyelamatan (SAR) dan Kemampuan Lapangan Brimob (KLBM) yang di masa lalu dikenal dengan GAG (grilia antigerilia, GAG). Lazimnya, ini disebut latihan Berganda.
Dalam perjalan sambil membawa ransel dan perlengkapan lainnya seberat lebih kurang 15 Kg, mereka harus terus merayap di bawah berondongan tembakan-tembakan dari para instruktur.
Lantas, di ketinggian puncak gunung yang dingin itu, semua berakhir dengan pembaretan. “Dalam satu upacara, kita dipakaikan baret warna biru gelap khas Brimob,” kenang Suhardi dan kawan-kawan tentang pendidikan yang dilalui di Pusdik Brimob Watukosek.
Di masa kini selepas itu, ada lagi. Pertama-tama –setelah diterima dalam tradisi penerimaan anggoita baru oleh Korps Brimob di Mako Kelapadua, mereka harus menjalani pembinaan di Satuan Latihan (Satlat) Cikeas.
Selanjutnya, baru mereka dilepas ke tempat tugas masing-masing yang telah ditentukan, antara lain dalam Satuan Kerja (satker) lingkup Mako Kelapadua atau Satuan-satuan dalam jajaran Pasukan I, II, dan III.
Hari-hari berikutnya, diisi oleh latihan demi latihan di tempat tugas masing-masing, demi kesiapan bila sewaktu-waktu tugas memanggil. Ini termasuk bagi mereka yang di Satuan Daerah, yang akan digunakan oleh masing-masing Polda.
Pembuktian
BAGI mereka yang melalui pendidikan, berusaha mewujudkan di lapangan semua yang didapat selama pendidikan. Suka-duka berjalan beriringan selama penugasan, baik ketika akan berangkat maupun saat di lapangan. Misalnya, operasi khusus kamdagri.
Operasi demi operasi yang dilaksanakan rutin atau khusus, terus bergulir dari waktu ke waktu. Lama-lama semua membiasa dan “terasa gatal” kalau tidak Operasi. “Kita disatukan oleh perasaan yang sama. Akhirnya, tugas operasi jadi hobi,” kata Komandan Korps (Dankor) Brimob, Komjen Pol. Drs. Imam Widodo, M.Han suatu ketika kepada penulis.
Imam menyampaikan hal itu dalam guyonan. Tetapi, dalam konteks Operasi, senyatanya memang begitu adanya. Dalam berseloroh, Kepala Biro Perencanaan, Administrasi, dan Operasi (Rorenminops) Korps Brimob, Brigjen Pol. Drs. Rudy Harianto, M.Si menambahkan, anggota Brimob yang ditugaskan dalam “Operasi Amule” Papua memlesetkannya dalam kalimat bahasa Jawa menjadi, “Ora muleh-muleh” (Indonesia, “tidak pulang-pulang”). Mungkin, ini terasa saking lamanya tugas Operasi, atau baru saja aplus pulang operasi, sudah tugaskan kembali.
Jauh sebelum itu, hal serupa juga terjadi. Pelaku sejarah Peristiwa Surabaya dari Tokubetsu Keisatsu Tai (Tokubetsu), Moekari (alm) melontar hal serupa. kepada komandannya Jasin. Ia bersitegas mengatakan, “Saya tidak takut mati!” yang direspons “Bagus!” oleh Jasin. Dialog pendek ini berlangsung ketika Jepang memulangkan pasukan bentukannya Peta, Heiho, dan Kaigun sehubungan dengan kekalahan demi kekalahannya dari Sekutu (tari: 13). Lantas, setelah itu Tokubetsu tetap eksis
Secara garis besar, untuk cikal bakal Brimob dan perkembangannya hingga kini, penulis coba membatasinya menjadi: masa proklamasi dan pasca proklamasi kemerdekaan (setelah 1945), Orde Baru, dan pasca jatuhnya Orde Baru (1998) yang populer sebagai era Reformasi, dan hingga kini. Banyak peristiwa terjadi dalam periode demi periode. Dari cikal bakal Brimob hingga Brimob kekinian mencatatkan sejarah yang berarti bagi bangsa dan negara ini.
Pada pasca proklamasikan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, di Surabaya, Jatim, bangkit perlawanan berbagai potensi kekuatan masyarakat, terutama yang digalang oleh PI. Saat putra-putra Indoensia yang masih dalam Tokubetsu berada di persimpangan, akhirnya Jasin, yang waktu itu juga pembantu instruktur Jepang di Sekolah Tokubetsu memutuskan, untuk memertahankan Kemerdekaan RI. Lewat komando Jasin, yang bila disusun sederhana mungkin seperti berikut ini:
• 18 Agustus 1945: Rapat di Markas Tokubetsu. Perdebatan sengit terjadi antara Jasin dan petinggi Jepang. Jasin memilih memertahankan Indonesia yang telah diproklamasikan oleh para pemimpin bangsa di Jakarta. Ia menyatukan putra-putra Indonesia dari Tokubetsu ke dalam Pasukan Polisi Istimewa (PPI);
• 19 Agustus 1945: Pengibaran bendera merah putih di bagian depan Sekolah/ Markas Tokubetsu. Aksi ini mengundang kemarahan para petinggi Jepang sampai menampar si pengibar. Namun, kejadian ini malah mengundang perlawanan dan bendera merah putih tetap berkibar, dengan kawat berduri mengitarinya.
• 21 Agustus 1945: Sebagai puncak perlawanan terhadap Jepang, Tokubetsu memroklamasi diri menjadi Polisi Repoeblik Indonesia (PRI). Pernyataan dibacakan oleh Jasin, disalin berlembar-lembar oleh mereka yang hadir. Proklamasi Polisi menjadi PRI diikuti sekitar 200 anggota Tokubetsu dan 50 orang yang meliputi pembantu instruktur, semua karyawan termasuk dari bagian kebersihan dan dapur. Selanjutnya, dilakukan pawai sambil menempelkan teks Proklamasi Kemerdekaan dan teks Proklamasi PRI. Langkah serupa, diikuti oleh polisi-polisi di karesidenan luar Surabaya. Hari-hari selanjutnya, untuk memersenjatai seluruh pasukan PRI dilakukan perlucutan senjata. Orang-orang Jepang bersenjata berikut gudang-gudang persenjataannya, jadi sasaran. Ini antara lain di Markas Tokubetsu, Don Bosco (kini di Jln. Tidar), Gubeng, Tanjung Perak dan tempat-tempat lain di Surabaya. Masyarakat mendukung. Senjata hasil rampasan, selain untuk memersenjatai para anggota PRI, juga dibagi-bagikan kepada para pejuang. Ketika itu baru terungkap ternyata gudang senjata di Markas Tokubetsu, untuk ukuran saat itu, merupakan gudang senjata Jepang terbesar di Asia Tenggara. Logislah, saat itu jika PRI menjadi yang paling lengkap persenjataannya. Sebelum Jepang masuk, Markas Tokubetsu ini digunakan untuk aktivitas oleh orang-orang Belanda.
• 18 September 1945: Belanda (anggota Sekutu) yang sudah kalah perang dari Jepang, mengibarkan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato, untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Kemudian, oleh para pejuang dan anggota PRI segera diturunkan dan warna birunya dirobek. Lantas, dikibarkan kembali menjadi hanya merah putih.
• Hari-hari selanjutnya, PRI sendiri atau bersama pejuang lainnya menghadapi Sekutu yang masuk ke Surabaya diboncengi Belanda. Wajar, para pejuang mencurigai Belanda yang sama-sama bule-nya dengan tantara Inggris; kekalahan Jepang menjadi kesempatan terbuka untuk masuk kembalinya Belanda untuk menjajah. Semua menjadi sasaran para pejuang hingga berpuncak pada Peristiwa Surabaya 10 November 1945.
Setelahnya, masih ada perjuangan panjang yang Mobrig masih ikut serta di dalamnya. Misalnya, sejumlah pemadaman pemberontakan di dalam negeri dengan berbagai latar belakang. Dapat disebutkan, antara lain Peristiwa Madiun (1948), disusul kemudian Pemberontakan DI dengan pasukannya TII di Jawa Barat yang berkembang ke Jawa Tengah, Aceh dan Sulawesi. Selanjutnya, PRRI Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Selain itu, juga dalam Konrfontasi Indonesia – Malaysia yang melahirkan pahlawan Brimob Amji Attak, dan Operasi pemgembalian Irian Barat dari tangan Belanda ke Ibu Pertiwi.
Di masa Orde Baru, peran Brimob juga muncul untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Demikian juga terkait masuknya Timor Timur (Timtim) hingga berpisahnya provinsi ke-26 ini menjadi negara sendiri, Timor Leste.
Di kekinian, Brimob tampil dalam Operasi Keamanan berbagai gangguan dalam negeri, seperti di Poso, Sulteng. Selain itu, juga menghadapi pembasmian Terorisme hingga terbentuknya Densus Polri. Sejumlah penangan korban bencana alam dan nonalam. Bahkan, hingga kini brimob tetap eksis, semisalnya, dalam menghadapi gangguan kamdagri oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Hari Jadi
KORPS Brigade Mobil (Brimob) Polri memeringati hari jadinya yang ke-79, pada 14 November 2024. Sebulan sebeluma, 14 Oktober, pasukan penindak Polri yang kini dipimpin oleh Komjen Pol. Drs. Imam Widodo, M.Han (Komandan ke-31) ini, dianugerahi “Sakanti” oleh Negara.
Penganugerahan –bersama enam Saker lainnya dari institusi Polri— oleh Presiden ke-7 RI berlangsung dalam upacara gelar pasukan pengamanan pelantikan Presiden ke-8 – Wakil Presiden ke-10. Penghargaan Negara itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 138/ TK tahun 2024.
Upacara berlangsung di Lapangan Upacara Markas Komando (Mako) Brimob Kelapadua, Depok, Jawa Barat –berbatasan langsung dengan tepian selatan Ibu Kota Jakarta. Momennya dipilih bertepatan dengan penghujung masa kepemimpinan Presiden ke-7 RI. Tentu, ini dapat dibaca sebagai jaminan kesiapan pengamanan Indonesia di masa-masa selanjutnya. Sungguh, sebuah tantangan!
Selang sepekan kemudian, 20 Oktober 2024, pelantikan Presiden Prabowo Subianto Soemitro Djojohadikoesoemo – Wapres Gibran Rakabuming Raka dilaksanakan dalam Sidang MPR di Gedung MPR – RI, Senayan, Jakarta. Sebagaimana diketahui, langsung atau melalui pesawat televisi, pengamanan berjalan dengan lancar. Tanpa gangguan keamanan berarti. Termasuk peran Brimob yang tidak kecil di dalamnya Sukses!
Pada 14 November 1961 di Lapangan Banteng, Jakarta, Presiden pertama RI, Sukarno (BK) menganugerahkan Sakanti Jana Utama kepada Brimob. Sakanti Jana Utama merupakan penghargaan tertinggi pertama untuk Brimob (baca: Kepolisian) atas kesetiaan dan pengabdian perjuangannya kepada Negara.
“Memutusan: Menetapkan: Memberikan anugerah Tanda Kehormatan “Nugraha Sakanti Jana Utama” kepada Korps Bigade Mobil Polisi Negara”. Demikian bunyi “Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 591 Tahun 1961, yang ditetapkan di Djakarta pada tanggal 13 Nopember 1961” dan Ditandatangani oleh PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Sukarno (sesuai asli dari ANRI).
Presiden saat itu sekaligus meresmikan perubahan nama Mobil Brigade (Mobrig) menjadi Brimob. Nama Mobile Brigade dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan hukum DM (diterangkan, menerangkan) yang berlaku dalam Bahasa Indonesia.
Perubahan tersebut sejalan dengan penetapan 14 November sebagai Hari Jadi Brimob, sebagaimana Surat Order Menteri Kepala Kepolisian Negara No. Pol. 23/61 tanggal 14 November 1961. Sebelumnya, Mobrig resmi dilebur dari kesatuan Polisi Istimewa, Barisan Polisi Istimewa, dan Pasukan Polisi Istimewa, pada 14 November 1946.
Polri
DI pembuka, sengaja dituliskan kekaguman seorang perwira remaja (Paja) Brimob (Brimob) kepada komandan tertingginya. Selain juga, ketanggapan seorang anggota Brimob paling senior ketika mendapati seorang laki-laki paruh baya harus berjalan kaki dari Gedung Utama Mako Brimob ke pintu gerbang utama Mako di Kelapadua itu.
Peringatan yang dikutip oleh Paja tadi, hendaklah dipahami, antara lain sebagai kerendahan hati atasan mengakui bahwa tidak selamanya ia benar. Oleh karena itu, secara proporsional dan sesuai etika, anggota patut mengingatkannya, agar tidak terlanjur semua bergelimang dalam kesalahan. Kita kerap mendengar ungkapan nasihat: “Teman itu menyelamatkan teman yang akan terjatuh ke dalam jurang”.
Pada momen yang kedua, seorang anggota paling senior kepada para juniornya memberi contoh: Kenal atau tidak kenal, jangan biarkan seseorang yang mengalami kesulitan di depan mata. Dengan kalimat lain, jangan biarkan seseorang sendiri berada dalam kesusahan.
Kedua momen tadi, amat pas bagi Brimob sebagai bagian tak terpisahkan dari Polri. Bukankah Polri dalam tugas-tugasnya, senantiasa berhadapan langsung sekaligus setarikan nafas dengan masyarakat sekitarnya.
Dankorbrimob, Komjen Pol Imam Widodo yang amat dikenal rendah hati dalam menghargai sejarah, selalu tegas menyelipkan kalimat pendek: “Sebagai Brimob, bagaimanapun saya adalah Polri.”
Begitulah Brimob Pori, dia Polisi Indonesia! **